3 Salah Kaprah Masyarakat Tentang Kurs Rupiah

Setiap hari, kita biasa menggunakan mata uang Rupiah untuk memenuhi bermacam kebutuhan. Mulai dari untuk beli makan siang hingga membayar tagihan. Namun tanpa disadari, banyak sekali orang yang salah kaprah tentang kurs Rupiah. Apalagi di era yang marak hoax saat ini, Beraneka ragam kesalah pahaman malah dijadikan bahan untuk menghujat, padahal tak begitu jelas kebenarannya.

Untuk mencegah lebih banyak orang yang salah kaprah, berikut beberapa contoh salah kaprah tersebut. Silahkan menyimak fakta-fakta mengenainya juga ya.

 

Uang Rupiah

Uang Rupiah

 

  1. Kurs Rupiah Melemah Terus Dikarenakan Pemerintah Yang GagalRupiah termasuk kedalam Soft Currency, yaitu sebutan untuk mata uang yang nilai tukarnya terus berfluktuasi akibat terjadinya instabilitas ekonomi atau politik negeri asalnya, dan cenderung terus menurun (terdepresiasi) terhadap mata uang lain. Ini terbilang wajar mengingat mata uang negara-negara berkembang umumnya juga masuk jenis mata uang Soft Currency.

    Rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang dari waktu ke waktu cenderung mengalami pelemahan. Lemahnya mata uang merupakan suatu karakteristik umum dari negara berkembang, yang mana Indonesia termasuk salah satunya. Dengan kata lain, lemahnya kurs Rupiah bukanlah semata ulah sebuah rezim saja, atau ulah sang presidennya.

    Sementara itu, mata uang yang termasuk kedalam kategori Hard Currency, hanya dihuni oleh beberapa mata uang tertentu. Diantaranya adalah Dolar AS, Euro, Pound Inggris, Franc Swiss dan Yen Jepang. Status Hard Currency juga bisa dicabut, sebagaimana yang dialami oleh Dolar Kanada dan Dolar Australia.

    Karakteristik khas Hard Currency adalah mata uangnya bisa dipakai sebagai cadangan devisa di banyak negara dan diterima sebagai suatu alat pembayaran transaksi lintas wilayah, sesuatu yang masih amat jauh dari jangkauan Rupiah.

    Selain itu, terdapat kecenderungan negara asal Hard Currency mempunyai surplus neraca dagang dan surplus neraca berjalan (Current Account) yang amat besar karena investasi luar negeri dan nilai ekspornya yang cukup tinggi.

    Sebagai perbandingan, Neraca Dagang dan Neraca Berjalan negara Indonesia rapuh, sering berbalik dari surplus jadi defisit, dan amat rentan untuk terimbas perubahan-perubahan yang biasa terjadi di dalam maupun di luar negeri. Kehadiran perusahaan asal Indonesia di kancah dunia secara presentase juga masih amat kecil.

 

  1. Kalau Kurs Rupiah Terus Menurun, Kapan Majunya Indonesia!?Faktanya: Mata uang yang lemah tak melulu berdampak buruk.

    Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa saat ini malah sedang dibanjiri isu tuduhan “sengaja melemahkan nilai tukarnya sendiri”. Mengapa bisa begitu? Karena, nilai tukar yang lebih lemah bisa membuat barang dan jasa dari suatu negara jadi memiliki daya saing lebih tinggi di pasar internasional. Umpamanya Anda dihadapkan pada pilihan antara membeli mobil pabrikan Eropa yang perlu dibayar mahal akibat kuatnya Euro, versus mobil buatan India yang lebih murah dengan status Rupee yang merupakan Soft Currency bernilai lemah. Andaikan spesifikasinya sama atau hanya berbeda sedikit, maka tentunya anda akan lebih memilih buatan India bukan!?

    Dengan kata lain, bagi negara-negara yang sedang ingin menggiatkan aktivitas pertumbuhan ekonomi dan menggenjot pendapatan dari sektor perdagangan internasional, maka nilai tukar yang lemah itu bisa jadi lebih menguntungkan.

    Namun, hal ini tak dapat diterjemahkan sebagai “lebih lemah lebih baik”. Dalam ilmu ekonomi, kemajuan akan dicapai apabila terdapat keseimbangan (balance), dan bukan kondisi yang ekstrim. Dengan kata lain, seandainya pun mata uang lemah itu baik, maka “baik” itu pastnya ada dalam kisaran tertentu saja.

 

  1. Kalau Kurs Rupiah Tetap, Pasti Ekonomi Akan Lebih Makmur.Nilai tukar menunjukkan tentang seberapa besar satu unit mata uang ketika dipertukarkan dengan mata uang yang lainnya. Mayoritas mata uang di dunia memakai sistem Floating Exchange Rate (Kurs Mengambang), dimana nilai tukar akan senantiasa naik turun bergantung pada permintaan dan penawaran yang ada di pasar internasional. Walaupun, ada juga negara-negara tertentu yang memakai Fixed Exchange Rate (Kurs Tetap), dimana nilai tukar akan tetap berdasarkan patokan yang telah ditentukan sebelumnya.

    Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa meskipun seandainya suatu negara mendeklarasikan bahwa kurs-nya bernilai tetap, sejatinya nilai tukar mata uang mereka di pasar dunia tetap akan berfluktuasi sesuai dengan besaran tekanan permintaan dan penawaran atasnya. Dengan adanya Fixed Exchange Rate, negara sejatinya menjanjikan akan tersangganya nilai tukar mereka dengan terus menerus terjun ke pasar mata uang untuk memproteksi kebijakan kurs tetap itu.

    Jika kurs menurun lebih rendah dari yang sudah direncanakan, maka mereka akan buru-buru menjual persediaan devisa (valas) mereka agar menciptakan permintaan bagi mata uang mereka sendiri. Sedangkan bila kurs menguat, mereka akan segera membeli valas banyak-banyaknya sembari melepas mata uang mereka ke pasar. Dengan demikian, syarat utama bagi suatu negara agar dapat memberlakukan sistem Kurs Tetap adalah jumlah Cadangan Devisa yang luar biasa besar dari waktu ke waktu.

    Dari sini muncul kendala utama bila Rupiah akan diposisikan ke dalam Kurs Tetap. Apakah Indonesia mempunyai devisa cukup banyak untuk terus menerus ikut campur di pasar uang? Tentu saja sulit. Namun, ada cara yang lebih mudah. Yakni dengan tetap membiarkan Rupiah ada di posisi mengambang, dan hanya mengintervensi apabila terjadi penurunan nilai mata uang yang berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi. Dengan begitu, nilai rupiah akan aman terkendali, dan devisa pun masih tetap bisa terlindungi.

Sekian dulu artikel singkat kami tentang 3 Salah Kaprah Masyarakat Tentang Kurs Rupiah. Semoga anda bisa tercerahkan, dan wawasan anda makin bertambah luas ya.

Speak Your Mind

*

*

Forex dan Valas adalah suatu Perdagangan yang Beresiko Tinggi, yang mungkin tidak cocok untuk sebagian Trader yang Belum Berpengalaman